Minggu, 17 Juli 2011

Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia

Meskipun koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960-an hingga awal 70-an, pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dulu sektor pertanian di Indonesia didekati dengan pembagian atas dasar subsektor, antara lain seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Pengenalan dan penggerakan koperasi saat itu mengikuti program pengembangan komoditas yang digagas pemerintah. Dengan demikian terlahirlah koperasi pertanian, koperasi tembakau, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain.

Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dengan jumlah terbatas saat itu adalah koperasi peternakan sapi perah dan koperasi tebu rakyat. Keduanya memiliki ciri yang sama: menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota.

Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai koperasi berbasis wilayah yang jumlahnya kurang dari 9000 unit dan pendiriannya pun tidak terlalu luas. Sampai menjelang dicabutnya Inpres 4/1984, KUD hanya mewakili 25% dari jumlah koperasi yang ada saat itu, namun dalam hal usaha KUD mewakili sekitar 43% dari seluruh volume usaha koperasi di Indonesia.

Meskipun KUD bukan koperasi pertanian, mengingat basisnya di desa-desa yang mana mayoritas penduduknya adalah petani, secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian juga sangat menonjol. Diantara koperasi yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada saat ini lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi yaitu 92% atau sebanyak 7931 unit KUD pada saat ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rata-rata anggota terbesar.

Pada subsektor pertanian tanaman pangan yang juga disebut sebagai pertanian rakyat praktis menjadi instrumen krusial dalam menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mewujudkan swasembada beras. Hal serupa juga diulang oleh pemerintah saat itu dengan mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat ketat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa sebelumnya. Tugas koperasi pertanian saat itu adalah untuk menyalurkan sarana produksi pertanian (terutama produk pupuk) dan membantu pemasaran yang berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian dan pengerakannya pada koperasi.

Koperasi pertanian yang digerakan melalui pengembangan kelompok tani setelah keluarnya Inpres 18/1998 mempunyai jumlah yang besar, namun praktis belum memiliki basis bisnis yang kuat dan mungkin sebagian sudah mulai tidak aktif lagi. Usaha mengembangkan koperasi baru di kalangan tani dan nelayan selalu berakhir kurang menggembirakan. Mereka yang berhasil berjumlah terbatas dan belumlah dapat dikelompokkan sebagai koperasi pertanian sebagaimana lazimnya koperasi pertanian lainnya di dunia atau bahkan oleh KUD khusus pertanian yang ada.

Posisi sektor pertanian hingga sekarang tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar dengan sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional kurang dari 19%. Jika dimasukkan keseluruhan kegiatan off form yang terkait dan sering dinyatakan sebagai sektor agribisnis juga hanya mencakup 47%, sehingga dominasi pembentukan nilai tambah pun telah berkurang dibandingkan dengan sektor-sektor di luar sektor pertanian. Isu peran pertanian sebagai penyedia pangan dan bentuk ketahanan pangan juga menurun tingkat kepentingannya.

Ditinjau dari unit usaha pertanian terdapat lebih dari 23 juta unit atau sekitar 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. Di sektor pertanian hanya terdapat 23,76 juta usaha kecil dengan omset dibawah 1 miliar per tahun yang mana sebagian terbesar adalah usaha mikro dengan volume usaha di bawah 50 juta rupiah per tahun. Secara kasar dapat diperhitungkan bahwa hanya sekitar 670 ribu unit usaha kecil di sektor pertanian yang non-usaha mikro, oleh karena itu daya dukungnya sangat lemah dalam berkontribusi bagi kesejahteraan para pekerja. Di lain pihak, penguasaan tanah berdasarkan sensus pertanian 1993 sekitar 43% tanah pertanian berada di tangan 13% rumah tangga dengan pemilikan diatas 1 hektar saja. Sehingga petani besar sebenarnya dapat dilihat sebagai modal potensial untuk menjadi lokomotif pembangunan pertanian.

Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas. Bukti empiris di dunia Mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas. Tema ini menjadi penting dalam melihat arah kebijakan pertanian dalam jangka menengah dan panjang, terutama pada penetapan pilihan sulit yang membelit sektor pertanian akibat berbagai rasionalisasi oleh pemerintah. Kelangsungan hidup koperasi pertanian dimasa lalu sangat terkait politik reservasi tersebut, demikian juga untuk kedepannya merupakan faktor yang sangat menentukan.

Untuk melihat posisi koperasi secara kritis perlu didasarkan pada posisi sektor pertanian yang makin bebas dan terbuka. Berdasarkan pada proses liberalisasi perdagangan yang berdampak pada sektor pertanian dalam bentuk dihapuskan kebijakan perencanaan pertanian yang kaku dan terpokus. Dengan demikian pengekangan program pembangunan pertanian tidak mungkin lagi dijalankan secara bebas, tetapi hanya dapat dilakukan secara lokal dan harus sesuai dengan potensi lokal. Olah karena itu prinsip pengembangan pertanian akan lebih bersifat insentif driven ketimbang program driven seperti di masa lalu. Dengan demikian corak koperasi pertanian akan terbuka tetapi untuk menjamin kelangsungan hidupnya akan terbatas pada sektor selektif yang memenuhi persyaratan tumbuhnya koperasi.

[Baca selanjutnya]

1 komentar: