Jumat, 15 April 2011

Kemenkop Galakkan Diklat Wirausaha

Kementerian Koperasi dan UKM RI akan menggalakkan pelatihan kewirausahaan (entrepreneurship) di berbagai daerah guna mencetak lebih banyak pengusaha yang mampu menciptakan lapangan kerja.

"Program pelatihan untuk pelatih (Training for Trainer) akan kami realisasikan dalam waktu dekat di setiap provinsi dan setelah mengikuti pelatihan enrre-preneurship, proposal bisnis peserta yang terbaik akan dibantu sehingga usai pelatihan ada kelanjutan untuk mewujudkan usaha," ujar Menkop Sjarifuddin Hasan seusai bertemu Ciputra sebagai perintis pendidikan kewirausahaan, kemarin.

Menurut Sjarifuddin, pihaknya mendukung upaya Universitas Ciputra Entrepreneurs Center (UCEC) memberikan pendidikan kewirausahaan sejak awal karena harus ada perubahan pola pikir dan budaya bagi generasi muda.

"Jumlah entrepreneur di Indonesia masih sangat minim hanya, 0,1% dari jumlah penduduk sedangkan Singapura sudah 7% dan AS mencapai 12%. Jadi kalau mau terobosan dan mengejar ketertinggalan memang perlu dilatih sejak usia dini."

"Kami mendukung upaya Ciputra agar pemerintah mau menginvestasikan 10% dana pendidikan dari APBN untuk mengembangkan entrepreneurship di Tanah Air. Hasilnya konkret sehingga jika semua pemangku kepentingan punya misi yang sama maka kita\dengan cepat dapat mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan."

Menkop menilai entrepreneurship harus menjadi gerakan nasional sehingga hasilnya juga bisa langsung dirasakan oleh masyarakat yang menjadi lebih sejahtera karena mampu mandiri.

Menyinggung alokasi dana pendidikan entrepreneurship secara nasional sebesar Rp20 triliun per tahun, Ciputra menegaskan bahwa investasi pemerintah jika dapat dikeluarkan selama 5 tahun pertama maka pada tahun keenamnya sudah akan muncul ribuan masyarakat Indonesia yang mandiri dan mampu menciptakan lapangan kerja.

"Pemerintah harus serius alokasikan dana itu dan mengupayakan pendidikan entrepreneur sejak masa taman kanak-kanak. Kalau belajar baru mulai di perguruan tinggi hasilnya adalah pengusaha UKM. Tapi kalau belajarnya dari TK maka pada usia 20 tahunan sudah muncul Ciputra-Ciputra baru," katanya.

Koperasi Sokoguru Ekonomi Indonesia

Koperasi sebagai sokoguru ekonomi Indonesia adalah cita-cita mulia yang sesuai dengan semangat Undang-Undang 1945. Dari waktu ke waktu, jumlah koperasi di Indonesia semakin berkembang. Kalau pada tahun 2006 jumlah koperasi terdaftar sebanyak 141.326 unit, tahun 2010 sudah berkembang mencapai hingga 177.482 unit koperasi (bertumbuh 25% dalam 4 tahun).

Dari segi volume usaha (omzet), koperasi pun meningkat, pada 2006 baru Rp62,72 triliun, pada tahun 2010 sudah mencapai  Rp76,82 triliun. Jumlah anggota koperasi hingga awal tahun 2011 tercatat sekitar 30,4 juta orang.

Koperasi yang umumnya berskala kecil menengah telah terbukti memberi kontribusi kepada pembangunan Indonesia. Bersama dengan jenis usaha kecil menengah lainnya, koperasi sangat berperan dalam penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi positif pada pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan.

Data BPS (Biro Pusat Statistik) RI tahun 2009, jumlah pelaku usaha mikro (usaha kecil) mencapai 52,2 juta atau 98,87 persen. Keberadaan UMKM telah memberikan kontribusinya secara nyata dalam penyerapan tenaga kerja yang mencapai lebih dari 96,2 juta orang.

Namun demikian, dalam kenyataan di lapangan, tidak semua koperasi berkembang sebagaimana seharusnya. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM dari 177.482 koperasi hanya 70 persen yang aktif. Ini berarti 30 persen koperasi hanya terdaftar tapi tidak mampu melaksanakan misi ekonominya.

Saat ini baru 22 persen dan masyarakat Indonesia yang sudah dewasa tergabung dalam koperasi. Persentase im jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara yang sudah maju. Di Amerika Serikat, 70 persen dan Singapura 80 persen warganya yang sudah dewasa tergabung dalam koperasi. Peran koperasi yang semakin besar di dunia ditunjukkan dengan volume usaha mencapai US$60 triliun per tahun secara global.

Dan berbagai analisis, terdapat beberapa penyebab mengapa koperasi di Indonesia belum berkembang sesuai yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Salah satu penyebabnya adalah koperasi kekurangan modal untuk mengembangkan usaha. Pengelolaan koperasi juga dianggap belum profesional ditinjau dari berbagai aspek, terkesan tradisional dan tertinggal.

Dari aspek budaya, keberadaan lembaga ini pun masih dicitrakan sebagai perkumpulan biasa. Sedangkan dari sudut pandang manajemen, banyak koperasi yang dipimpin oleh sosok yang kompetensinya rendah yang tidak sesuai dengan standar dunia usaha saat ini.

Dalam menapaki usia koperasi yang ke-64, gerakan koperasi Indonesia harus semakin membuktikan kiprahnya sebagai lembaga ekonomi rakyat. Seperti yang disampaikan Presiden RI, DR. Susilo Bambang Yudhoyono, koperasi harus mampu memberi kontribusi signifikan dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia.

Pemerintah terus menciptakan iklim kondusif bagi pemberdayaan koperasi di Indonesia. Pemerintah juga mendorong peningkatan kapasitas permodalan, penataan manajemen dan perluasan bidang usaha koperasi.

Perluasan akses permodalan yang dicanangkan pemerintah akan sangat membantu koperasi, mengingat selama ini faktor kekurangan modal menjadi salah satu penghambat perkembangan koperasi. Menurut Presiden, perluasan akses permodalan bagi koperasi juga digulirkan dengan mempermudah akses koperasi kepada kalangan perbankan, lembaga keuangan dan pembiayaan. Pemerintah juga memberikan keringanan dan fasilitasi bunga pinjaman yang rendah.

Pemberdayaan koperasi dipadukan dengan program-program prorakyat bertujuan meningkatkan pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja, menanggulangi kemiskinan dan pemeliharaan lingkungan, yang semuanya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tekad pemerintah untuk menggalakkan koperasi akan berjalan dengan baik jika ada dukungan berbagai kalangan. Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah maupun swasta diharapkan ikut menyokong kesuksesan koperasi dengan memberi bantuan manajemen, permodalan, pemasaran dan sebagainya. Sementara pemerintah daerah harus menciptakan iklim usaha yang kondusif terhadap koperasi.

Selasa, 12 April 2011

Potret Koperasi di Indonesia

Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.

Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan, berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.

Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002).

Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu :
  1. Program pembangunan secara sektoral;
  2. Lembaga-lembaga pemerintah; dan
  3. Perusahaan baik milik negara maupun swasta. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Selama ini koperasi di­kem­bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar ba­gi penduduk Indonesia. KUD sebagai koperasi program yang didukung dengan program pem­bangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan seperti yang se­lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pem­bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan bea pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).

Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggota ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif pada November 2001 sebanyak 96.180 unit (88,14%). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.

Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter­sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD.

Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi dan dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar Perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal.

Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi.

Jumat, 08 April 2011

Membentuk Entrepreneurship Mahasiswa

Ternyata dari lebih dari 231 juta penduduk Indonesia, hanya terdapat 64.240 unit usaha berskala kecil menengah dan besar atau kurang dari seperempat persen total penduduk Indonesia. Padahal suatu negara hanya bisa maju jika jumlah wirausahanya sebesar minimal 2 persen dari total penduduknya. "Untuk memenuhi itu, Indonesia membutuhkan sebanyak 4,07 juta wirausaha baru," demikian diungkapkan Syarief Hasan Menteri Koperasi dan UKM seperti dipublikasikan di Media Indonesia tgl. 30/10/2010.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, sampai dengan Februari 2010 tingkat pengangguran terbuka di Tanah Air mencapai 7,41 perssen atau 8,95 juta jiwa, turun dibanding Agustus 2009 sejumlah 7,87 persen, akan tetapi secara populasi masih tetap besar. Ironisnya, nyaris separuhnya adalah dari lulusan jenjang pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi.

Oleh sebab itulah pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) di kalangan kampus yang telah dan tengah dilakukan perlu terus-menerus diwujudkan menjadi program andalan. Keberhasilan membentuk jiwa kewirausahaan di kalangan akademis merupakan salah satu cara menekan angka pengangguran sekaligus menekan kebutuhan empat juta wirausahawan baru sebagaimana diungkap Menteri KUKM.

Lingkungan Yang Mendukung

Kenyataan menunjukkan, lingkungan kampus belum sepenuhnya "sadar" arti penting membentuk jiwa kewirausahaan. Menumbuhkembangkanjiwa kewirausahaan memerlukan medium pembelajaran seperti melalui kegiatan simulasi bisnis yang dilakukan secara kelompok di lingkungan kampus.

Namun berdasarkan pengalaman empiris, pihak kampus belum terbiasa dengan kegiatan ini dan masih dianggap semacam pedagang kaki lima. Sementara contoh menunjukkan, pengusaha sukses bermula dari usaha kecil Mahasiswa yang meluncurkan produk bisnisnya perlu mendapatkan masukan untuk pengembangan produk lebih baik

Dahulu kita beranggapan bahwa menjadi  pengusaha (entrepreneur) tergantung bakat dan garis keturunan. Salah kaprah masyarakat ini memunculkan stereotipe bahwa hanya etnis tertentu tertentu yang mampu berbisnis. Masyarakat awam berpandangan, pengusaha dilahirkan dan tidak dapat dididik, seakan pengaruh faktor genetik dan sifat yang dibawa sejak lahir mendominasi seseorang sukses dalam berwirausaha. Dengan kata lain, menjadi pengusaha tidak bisa melalui lembaga pendidikan.

Namun tokoh pengusaha sukses sekelas Ciputra menampik anggapan itu. Bahkan ia membuat perguruan tinggi sendiri yang berparadigma entre-prenewship. Sampai kini Universitas Ciputra konsisten de ngan berbagai program ang membentuk jiwa entrepreneur-ship atau kewirausahaan para mahasiswanya.

Sebelumnya, . pada akhir 1970-an dan di awal 1980-anpernah berdiri Akademi Wirausaha Indonesia di Jakarta. Semangat menggebu-gebu untuk mencetak wirausahawan andal tetapi ndak dibarengi dengan alat kelengkapan, sistem pendidikan, kebijakan, komitmen tinggi yang memadai berujung pada penutupan lembaga pendidikan kewirausahaan ini. Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah perguruan tinggi telah mencanangkan berbagai pro-gram kewirausahaan mahasiswa. Sejumlah Universitas bahkan telah memasukkan materi kewirausahaan sebagai matakuliah yang wajib diikuti mahasiswa. Namun, tidak semua universitas siap dengan gagasan mulia ini karena kesulitan menemukan pengampu (dosen) matakuliah kewirausahaan yang cocok dengan karakter matakuliah.

Praktisi atau pelaku bisnis mungkin bisa didayagunakan sebagai salah satu narasumber,tapi belum tentu tepat untuk menjadi dosen (pengampu) matakuliah itu. Sebab, mendidik mahasiswa agar memiliki jiwa entrepreneurship bukanlah sesuatu yang gampang. Diperlukan dosen yang memiliki kemampuan memotivasi orang lain selain juga berjiwa entrepreneurship.

Karena itu, dosen seharusnya memiliki penguasaan praktis tentang psikologi, komu-nikasi/presentasi efektif, dan manajemen bisnis, sekaligus sebagai inspirator bagi mahasiswa untuk mengubah paradigma yang erat melekat dalam diri mahasiswa kita saat ini, yakni mencari pekerjaan (job seeker).

Tentu, dalam berwirausaha modal uang tidak selamanya mutlak dibutuhkan. Berbagai kiat dapat dipelajari dan ditiru dari para pengusaha sukses. Tidak memiliki produk atau barang sendiri bukan berarti kita tidak bisa berwirausaha, karena bisa menjualkan barang orang lain, yaitu berbisnis dengan menggunakan produk (barang) orang lain.

Memang, barang yang sudah berada di tangan tidak harus kita sendiri yang menjualnya. Kita bisa melibatkan orang lain, khususnya mereka yang mempunyai jaringan penjualan luas. Berbagai outlet penjualan produk konsumtif biasa menerima barang-barang dari luar outlet dengan sistem bagi hasil, titip jual atau konsinyasi.

Bahkan bukan tidak mungkin jika barangnya memang benar-benar dicari konsumen, maka toko atau outlet akanmembeli barang yang ditawarkan itu secara tunai Apabila produk yang dijual berkualitas baik dengan harga kompetitif, orang akan membeli. Kian banyak barang kita dijualkan orang lain, akan makin besar total penjualan. Jadi kita tidak mesti menjual barang dagangan sendiri tetapi bisa memanfaatkan tenaga atau outlet orang lain.

Bagaimana jika kita tidak memiliki uang untuk berbisnis tetapi mempunyai ide produk, jaringan penjualan dan atau pasar yang tersedia? Asalkan kita berani dan yakin serta dapat dipercaya, tentu tidak sulit menggandeng pemilik modal yang bersedia menggelontorkan dananya kepada kita. Inilah yang disebut dengan berbisnis dengan modal dari orang lain termasuk dari perbankan.

Di kalangan perguruan tinggi dewasa ini tersedia alokasi anggaran melalui program kewirausahaan mahasiswa (PKM). Kerja sama antara pemerintah dan universitas atas bisnis yang dirintis mahasiswa diwujudkan dalam bentuk ketersediaan dana. Sebagaimana pemerintah juga menyiapkan bantuan modal bagi para UMKM melalui program KUR (Kredit Usaha Rakyat).

Setelah program ini terealisasi diperlukan langkah selanjutnya, yakni kepeduliaan pemangku kepentingan seperti pemerintah, perbankan, KADIN dan pihak terkait untuk menumbuhkembangkan usaha-usaha UKM mahasiswa menjadi lebih berkembang dan dikelola secara profesional.

Sabtu, 02 April 2011

SBY: Wirausaha Pahlawan Ekonomi Rakyat

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa wirausaha merupakan pahlawan ekonomi rakyat. Presiden meminta semua pihak agar mengembangkan kewirausahaan sebagai upaya mendapatkan penghasilan karena jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia sangat terbatas. 

"Masih terbuka peluang dan kesempatan bagi pengusaha dan calon pengusaha untuk mengembangkan bisnis di Indonesia karena Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang besar dibandingkan banyak negara serta sumber daya manusia (SDM)," katanya saat mencanangkan Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) di gedung UKM Convention Center Smesco, Jakarta, Rabu (2/2).

Selain alasan SDA dan SDM, menurut Presiden, peluang berwirausaha akan semakin besar bila pengusaha maupun calon pengusaha mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor pendukung lain adalahperekonomian Indonesia di tingkat kota/kabupaten maupun provinsi terus tumbuh menuju high growth.

"Pemerintah dan dunia usaha juga ingin memberi bantuan kepada usaha rintisan baru, seperti berupa pelatihan, modal, pinjaman, dan kredit usaha rakyat," ujar Presiden. Menurutnya, wirausaha sangat penting. Kalau tercipta usaha baru, otomatis pengangguran akan terserap dan kemiskinan akan berkurang.

"Wirausaha, pahlawan ekonomi rakyat," katanya. Masih ada penduduk miskin, menurut Presiden, karena tidak ada penghasilan. Solus; cepat adalah berwirausaha, karena itu berperan menciptakan peluang kerja baru.

Hadir dalam acara ini antara lain Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Mensesneg Sudi Silalahi, Ketua MPR Taufik Kiemas, Ketua MK Mahfud MD, Ketua KY Erman Suparman, serta Ketua DPD Irman Gusman.

Menteri Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan mengatakan saat ini jumlah wirausaha di Tanah Air baru 0,24 persen dari total po-pulasi penduduk. Padahal, agar disebut sebagai negara maju, diperlukan sedikitnya dua persen wirausaha dari total penduduk. "Melalui GKN ini, kita berharap dapat meningkatkan jumlah wirausaha, minimal dua persen dari total penduduk," katanya. Sehingga jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan dapat ditekan.

Ditanya program GKN, Syarifuddin menjelaskan, di antaranya program pengembangan SDM, peningkatan program pembiayaan, dan pemasaran bagi calon wirausaha.

"Seluruh kementerian bersinergi dengan BUMN, perbankan, dan organisasi masyarakat dengan satu tujuan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan eksistensi GKN," katanya.

Selain itu, berbagai program yang digulirkan pemerintah antara lain program wirausaha 1.000 sarjana, pelatihan kewirausahaan, PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan), program pembiayaan CSR, PNPM Mandiri, hingga kredit usaha rakyat (KUB) ditarget Rp 20 triliun tanpa jaminan.