Ternyata dari lebih dari 231 juta penduduk Indonesia, hanya terdapat 64.240 unit usaha berskala kecil menengah dan besar atau kurang dari seperempat persen total penduduk Indonesia. Padahal suatu negara hanya bisa maju jika jumlah wirausahanya sebesar minimal 2 persen dari total penduduknya. "Untuk memenuhi itu, Indonesia membutuhkan sebanyak 4,07 juta wirausaha baru," demikian diungkapkan Syarief Hasan Menteri Koperasi dan UKM seperti dipublikasikan di Media Indonesia tgl. 30/10/2010.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, sampai dengan Februari 2010 tingkat pengangguran terbuka di Tanah Air mencapai 7,41 perssen atau 8,95 juta jiwa, turun dibanding Agustus 2009 sejumlah 7,87 persen, akan tetapi secara populasi masih tetap besar. Ironisnya, nyaris separuhnya adalah dari lulusan jenjang pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi.
Oleh sebab itulah pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) di kalangan kampus yang telah dan tengah dilakukan perlu terus-menerus diwujudkan menjadi program andalan. Keberhasilan membentuk jiwa kewirausahaan di kalangan akademis merupakan salah satu cara menekan angka pengangguran sekaligus menekan kebutuhan empat juta wirausahawan baru sebagaimana diungkap Menteri KUKM.
Lingkungan Yang Mendukung
Kenyataan menunjukkan, lingkungan kampus belum sepenuhnya "sadar" arti penting membentuk jiwa kewirausahaan. Menumbuhkembangkanjiwa kewirausahaan memerlukan medium pembelajaran seperti melalui kegiatan simulasi bisnis yang dilakukan secara kelompok di lingkungan kampus.
Namun berdasarkan pengalaman empiris, pihak kampus belum terbiasa dengan kegiatan ini dan masih dianggap semacam pedagang kaki lima. Sementara contoh menunjukkan, pengusaha sukses bermula dari usaha kecil Mahasiswa yang meluncurkan produk bisnisnya perlu mendapatkan masukan untuk pengembangan produk lebih baik
Dahulu kita beranggapan bahwa menjadi pengusaha (entrepreneur) tergantung bakat dan garis keturunan. Salah kaprah masyarakat ini memunculkan stereotipe bahwa hanya etnis tertentu tertentu yang mampu berbisnis. Masyarakat awam berpandangan, pengusaha dilahirkan dan tidak dapat dididik, seakan pengaruh faktor genetik dan sifat yang dibawa sejak lahir mendominasi seseorang sukses dalam berwirausaha. Dengan kata lain, menjadi pengusaha tidak bisa melalui lembaga pendidikan.
Namun tokoh pengusaha sukses sekelas Ciputra menampik anggapan itu. Bahkan ia membuat perguruan tinggi sendiri yang berparadigma entre-prenewship. Sampai kini Universitas Ciputra konsisten de ngan berbagai program ang membentuk jiwa entrepreneur-ship atau kewirausahaan para mahasiswanya.
Sebelumnya, . pada akhir 1970-an dan di awal 1980-anpernah berdiri Akademi Wirausaha Indonesia di Jakarta. Semangat menggebu-gebu untuk mencetak wirausahawan andal tetapi ndak dibarengi dengan alat kelengkapan, sistem pendidikan, kebijakan, komitmen tinggi yang memadai berujung pada penutupan lembaga pendidikan kewirausahaan ini. Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah perguruan tinggi telah mencanangkan berbagai pro-gram kewirausahaan mahasiswa. Sejumlah Universitas bahkan telah memasukkan materi kewirausahaan sebagai matakuliah yang wajib diikuti mahasiswa. Namun, tidak semua universitas siap dengan gagasan mulia ini karena kesulitan menemukan pengampu (dosen) matakuliah kewirausahaan yang cocok dengan karakter matakuliah.
Praktisi atau pelaku bisnis mungkin bisa didayagunakan sebagai salah satu narasumber,tapi belum tentu tepat untuk menjadi dosen (pengampu) matakuliah itu. Sebab, mendidik mahasiswa agar memiliki jiwa entrepreneurship bukanlah sesuatu yang gampang. Diperlukan dosen yang memiliki kemampuan memotivasi orang lain selain juga berjiwa entrepreneurship.
Karena itu, dosen seharusnya memiliki penguasaan praktis tentang psikologi, komu-nikasi/presentasi efektif, dan manajemen bisnis, sekaligus sebagai inspirator bagi mahasiswa untuk mengubah paradigma yang erat melekat dalam diri mahasiswa kita saat ini, yakni mencari pekerjaan (job seeker).
Tentu, dalam berwirausaha modal uang tidak selamanya mutlak dibutuhkan. Berbagai kiat dapat dipelajari dan ditiru dari para pengusaha sukses. Tidak memiliki produk atau barang sendiri bukan berarti kita tidak bisa berwirausaha, karena bisa menjualkan barang orang lain, yaitu berbisnis dengan menggunakan produk (barang) orang lain.
Memang, barang yang sudah berada di tangan tidak harus kita sendiri yang menjualnya. Kita bisa melibatkan orang lain, khususnya mereka yang mempunyai jaringan penjualan luas. Berbagai outlet penjualan produk konsumtif biasa menerima barang-barang dari luar outlet dengan sistem bagi hasil, titip jual atau konsinyasi.
Bahkan bukan tidak mungkin jika barangnya memang benar-benar dicari konsumen, maka toko atau outlet akanmembeli barang yang ditawarkan itu secara tunai Apabila produk yang dijual berkualitas baik dengan harga kompetitif, orang akan membeli. Kian banyak barang kita dijualkan orang lain, akan makin besar total penjualan. Jadi kita tidak mesti menjual barang dagangan sendiri tetapi bisa memanfaatkan tenaga atau outlet orang lain.
Bagaimana jika kita tidak memiliki uang untuk berbisnis tetapi mempunyai ide produk, jaringan penjualan dan atau pasar yang tersedia? Asalkan kita berani dan yakin serta dapat dipercaya, tentu tidak sulit menggandeng pemilik modal yang bersedia menggelontorkan dananya kepada kita. Inilah yang disebut dengan berbisnis dengan modal dari orang lain termasuk dari perbankan.
Di kalangan perguruan tinggi dewasa ini tersedia alokasi anggaran melalui program kewirausahaan mahasiswa (PKM). Kerja sama antara pemerintah dan universitas atas bisnis yang dirintis mahasiswa diwujudkan dalam bentuk ketersediaan dana. Sebagaimana pemerintah juga menyiapkan bantuan modal bagi para UMKM melalui program KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Setelah program ini terealisasi diperlukan langkah selanjutnya, yakni kepeduliaan pemangku kepentingan seperti pemerintah, perbankan, KADIN dan pihak terkait untuk menumbuhkembangkan usaha-usaha UKM mahasiswa menjadi lebih berkembang dan dikelola secara profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar